Tentang Bapak
Hari ini bukan peringatan “Hari Ayah”, tapi pikiran ini tiba-tiba memikirkannya. Ia seorang pria berambut hitam ikal yang kini telah ditumbuhi uban, berbadan gelap, berkumis dan berjenggot tebal. Ia adalah bapakku. Tidak tamat sekolah dasar karena harus menjadi tulang punggung keluarga sejak masih belia. Bukan menyelesaikan sekolahnya, ia malah memutuskan merantau sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada keluarga setelah ayahnya dipanggil sang maha kuasa.
Tanah rantaulah yang membesarkan dan mendewasakannya. Kampung halamannya terasa asing baginya, dan orang-orang pun merasa pangling ketika ia pulang ke rumah. Rumah baginya hanya tempat singgah sementara untuk bertemu keluarga dan anak-anaknya yang biasa ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Anaknya yang rindu sosok seorang bapak, justru tak berani bercengkrama dan meminta karena merasa takut dan asing dengan seorang bapak.
Menjadi seorang bapak yang harus menafkahi istri dan dua orang anak tidaklah mudah. Tak punya ijazah untuk menjadi seorang pegawai, pejabat ataupun birokrat. Ia hanya mempunyai keahlian mengemudi yang bisa membuatnya pergi kesana kemari mencari nafkah buat keluarga. Beberapa pulau di Indonesia pun sudah dia ditapaki dengan truk-truk pengangkut kayu yang ia bawa. Melalui surat pos hanya satu-satunya cara untuk tetap berkomunikasi dengan istrinya. Dan Istrinya selalu sabar membesarkan dan merawat anak-anak mereka tanpa mengeluh kewalahan mendidik dan menjaga mereka seorang diri.
Bertahun-tahun, berpindah-pindah dari satu pulau ke pulau lain. Dan akhirnya ia memutuskan untuk menghentikan masa perantauannya ketika anak-anaknya memasuki usia belasan. Di kampungnya, ia mulai membuka usaha-usaha pertanian. Berkebun dan menggarap sawah ia lakukan berdua bersama istrinya. Kini tanah perantauan sudah merasa asing dengan dirinya, dan kampung halaman menjadi tempat mata pencahariannya.
Anak-anaknya beranjak dewasa dan tanah rantau pula lah yang mendewasakan mereka. Setelah berpuluh-puluh tahun ia meninggalkan anaknya di tanah rantau, bertemu hanya beberapa kali dalam setahun. Kini ia yang ditinggalkan anaknya untuk merantau. Mungkin anaknya dulu tak pernah mengira betapa beratnya seorang bapak menahan rindu pada istri dan anak-anaknya. Anaknya hanya berpikir bagaimana bisa bermain bersama bapaknya seperti keluarga-keluarga lainnya. Kini anaknya tahu, ada pengorbanan yang harus dilakukan untuk memenuhi sebuah tanggung jawab. Mengorbankan rindu dan bertemu.
–
–
Dari anakmu yang saat ini merasakan rindu ingin bertemu.