PETANI [TIDAK] BOLEH SEJAHTERA #1
Di kaki bukit yang tidak terlalu tinggi, membentang hamparan hijau padi yang dibatasi pematang untuk lalu-lalang. Embun masih membasahi helaian daun-daun padi yang menjadi harapan para petani. Harapan panen musim ini bisa mencukupi kebutuhan. Air mengalir dari hulu melewati dan menggenangi setiap petakan sawah yang ditanami. Burung-burung terbang di atas langit biru yang membentang. Dan mentari mulai menyongsong tanpa ada awan yang menutupi, sepertinya pagi ini sungguh indah sekali.
Pagi yang indah menemani petani sawah yang hidupnya susah, karena budidaya padi tidaklah mudah. Mereka butuh waktu paling cepat 3 hingga 4 bulan untuk memperoleh hasil panen. Proses penggarapan lahan hingga panen mereka lakukan secara gotong royong karena kehidupan pedesaan yang masih kental dengan kebersamaan tanpa mengenal perbedaan. Bersama di saat susah─proses menanam─dan bersama di saat senang─ketika musim panen tiba. Lumpur hitam yang mereka injak dan panas mentari yang mereka rasakan, tidak menyurutkan semangat mereka menanam padi yang menjadi sumber kehidupan. Bukan hanya sumber kehidupan mereka, tapi mereka juga memberi sumber kehidupan bagi 200juta lebih penduduk negeri ini. Karena tanpa jasa mereka, penduduk negeri ini bisa kelaparan. Jadi, “jangan tanyakan apa yang diberikan petani untuk negara ini, tapi tanyakan apa yang telah diberikan negara untuk petani”.
Perjuangan mereka tidak hanya menghadapi panasnya matahari yang membuat kulitnya hitam legam atau banyaknya lumpur melekat di pakaian, tapi mereka juga harus menghadapi kekurangan air ketika musim kemarau atau mengkhawatirkan banjir ketika musim penghujan. Belum lagi mereka harus menjaga tanaman dari hama penyakit yang bisa merusak tanaman dan memberi pupuk agar padi tetap subur. Yang mereka lakukan itu bukan hanya butuh tenaga yang menguras keringat tapi membutuhkan uang yang menguras dompet. Mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk berbudidaya tanaman yang menjadi makan pokok bangsa ini.
Cukup besarnya biaya yang harus mereka bayarkan untuk merawat dan menjaga tanamannya mulai dari penanaman hingga pemanenan, tidak membuat mereka bisa mematok harga padi mereka lebih tinggi. Ketika panen tiba, para tengkulak memberi harga dan petani tidak bisa meminta. Apa lagi musim panen raya tiba, hukum pasar berlaku tanpa pandang bulu. Di mana supply lebih besar dari pada demand yang membuat harga menjadi turun. Petani tidak bisa mengharapkan harga lebih tinggi untuk menutupi biaya produksi yang besar. Memang mereka tidak merugi, tapi letih hanya dibayar dengan harga yang perih. Jadi ketika harga beras di pasaran melonjak, jangan dikira mereka bahagia. Karena tengkulak yang memperoleh keuntungan besar dengan memainkan harga.
Petani kecewa karena jerih payah hanya dibayarkan dengan harga yang membuat mereka merana. Jangan heran ketika hasil studi empiris menunjukkan bahwa kemiskinan paling besar di negeri ini diderita oleh petani yang berbudidaya tanaman pangan. Sayang, ketika mereka memberi makan untuk negeri tapi dibalas dengan ironi. Petani pun melampiaskan kekecewaannya dengan mengalihfungsikan lahan sawah menjadi tanaman lain─nonpangan─bahkan ada yang nekat menjual lahannya. Bagi mereka, ini keputusan yang realistis untuk mendapatkan usaha yang lebih ekonomis.
Alih fungsi lahan menjadi sebuah jawaban untuk permasalahan petani pangan saat ini. Mereka lebih memilih untuk menanam tanaman perkebunan seperti sawit karena selain prospektif juga membudidayakannya relatif mudah. Mereka tidak perlu setiap hari ke lahan seperti ketika menanam padi. Juga tenaga kerja yang digunakan ketika menaman dan panen tidak banyak. Namun, biaya investasi awal untuk budidaya komoditi sawit biasanya lebih besar. Bagi mereka tidak masalah investasi yang besar jika mampu memberikan harapan hidup yang besar. Mampu memenuhi kebutuhan hidup dan menyekolahkan anak-anaknya.