Keterbatasan Bukanlah Alasan untuk Menggenggam Impian
Kehidupan petani Indonesia yang begitu sederhana, memperoleh nafkah dari mengusahakan lahan yang terbatas untuk membiayai segala kebutuhan, hingga sering kali mengolah lahan dengan resiko harga produksi terjun bebas dan cuaca yang urung bersahabat sudah menjadi tantangan hidup yang harus dijalani setiap hari. Tidaklah mudah menjadi petani, terlebih petani Indonesia yang bergaining position-nya lemah dalam menghadapi pasar, dan tak ayal income yang diperoleh tidak sebanding dengan effort. Sehingga sudah jadi rahasia umum petani sulit sejahtera. Sungguh inilah gambaran petani yang ada di negeri kita yang sumber daya alamnya melimpah ruah. Ironi sekali dari lirik lagu “Orang bilang tanah kita, tanah Surga. Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman” ini. Namun, tidak bisa memilih, dari seorang petani inilah saya dilahirkan, tumbuh, kembang hingga jadi seperti ini.
Dilahirkan sebagai generasi kedua dari penduduk transmigran, wajar saja kami harus kerja keras memutar otak, memberdayakan tenaga, segala daya upaya untuk bertahan hidup di daerah yang tak pernah kami tahu sebelumnya. Inilah program pemerintah orde baru tahun 1960’an untuk mengurangi disparitas penduduk di Indonesia, Transmigrasi. Saya, Dany Juhandi, masih sangat perlu bersyukur karena menjadi generasi pertama yang menikmati dunia pendidikan yang lebih baik. Lantas, tidak perlu dipertanyakan jika Ayah dan Ibunda tidak menikmati bangku sekolah layaknya saya. Yaa begitulah, kemana hendak mengadu, orang tua saya adalah petani yang tidak mencicipi pendidikan.
Kehidupan yang sulit dan keterbatasan lahan pekerjaan di daerah transmigrasi memaksa Ayah merantau ke pulau seberang, entah itu di Kalimantan, Sulawesi, bahkan terkadang sampai ke Papua hanya untuk menjadi seorang sopir, karena memang mengemudilah keahlian yang beliau miliki. Seringnya Ayah pergi merantau yang pulangnya hanya setahun sekali, wajar masa kecil saya hanya dihabiskan bersama Ibunda. Masa kecil yang tak banyak mengenal sosok Ayah, membuat saya sangat takut tiap kali beliau pulang.
Tak hanya sampai disitu, bangku Sekolah Dasar saya jajaki pada tahun 1998 dimasa krisis moneter. Jauh dari Ayah dan keterbatasan pendidikan Ibunda tidak membuat saya putus semangat begitu saja untuk memperbaiki kehidupan masa depan. Meminta bimbingan Paman dan Bibi yang Sekolah Menengah Pertama (SMP) pun tak selesai menjadi satu-satunya solusi terbaik yang terpikirkan oleh Dany kecil saat itu untuk sekedar memberitahu Ayah dan Ibunda bahwa pendidikan itu memang ada manfaatnya. Ketahuilah, semangat belajar yang menggebu-gebu dengan segala keterbatasan dan ke-minder-an pada waktu itu tidak sia-sia, Juara 1 (satu) saat triwulan pertama kelas 1 SD adalah track record awal yang bisa saya serahkan ke mereka yang tak pernah putus kasih sayangnya, Ayah dan Ibunda. Saat pulang dari perantauan, bahagia bukan kepalang Ayah memberikan reward sebuah sepeda yang kemudian menjadi sahabat menapaki jalanan ke sekolahan hingga SD pun usai.
Sempat lalai, sahabat baru ini membuat saya sering berpetualang bak si bolang yang setelah pulang sekolah langsung menghilang. Prestasi sekolah pun jadi taruhan, merosot tajam tertikung meliuk-liuk tak karuan. Yaa masih sih tidak keluar dari peringkat 5 (lima) besar. Lalu, bagaimana mungkin Dany kecil sempat memikirkan impian masa depan ketika pada saat itu sudah tepat rasanya menjalani takdir Tuhan sebagai anak kecil yang tugasnya dan maunya ya main-main. Sungguh menjadi kenikmatan tersindiri kalau memori ini diputar kembali mengingat masa-masa itu, bagian main-mainnya saja, tidak yang lain, beban-beban hidup yang entah lah kalau diceritakan bisa buyar semuanya. Si bolang anak transmigran ini cinta sekali dengan permainan tradisional. Wajar saja cinta, karena memang tidak ada pilihan lain selain permainan yang itu-itu saja. Tapi jangan salah, menikmati masa kecil yang begitu, sungguh memberikan utility tersendiri pada diri ini, yang membuat enggan cepat-cepat pulang meski hari mulai kelam, berbarengan dengan matahari yang tenggelam di batas lautan semampu mata memandang.
Masih saja berlanjut hingga bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), tapi lagi-lagi, masih saja tidak keluar dari juara lima besar. Hamdallah. Mungkin saja, ini karena malam hari dihabiskan untuk mencatat ulang pelajaran yang didapatkan di sekolah. Kebiasaan ini masih sering saya lakukan sampai sekarang. Banyak sekali manfaatnya, tidak hanya catatan terlihat rapi dan bersih, tapi saya bisa kembali mengingat ilmu-ilmu yang diajarkan Bapak Ibu guru yang budiman.
Waktu terus berjalan dan roda pun tak henti berputar. Segala keterbatasan, masalah-masalah yang lalu lalang, hingga mulai berkembangnya pemahaman kehidupan karena umur yang terus berlanjut, barulah pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA), Dany tak lagi menjadi bocah kecil yang hobinya ngebolang. Jauh dari orang tua pada masa SMA membuat saya mulai belajar hidup mandiri, setidaknya bertanggung jawab untuk diri sendiri, dan mendekatkan diri pada Allah S.W.T, Sang Khalik yang Maha Luas Kasih Sayangnya. Mulailah pada masa ini memikirkan apa yang sebenarnya impian yang ingin digenggam dengan sembilan tahun mengenyam pendidikan.
Bertansformasi menjadi sosok yang jauh berbeda pada masa SMA, “culun” sudah menjadi image sehari-hari rekan-rekan sekolah. Ya karena pakaian yang dikenakan selalu rapi padahal niatnya hanya menjadi anak muda yang punya ciri tersendiri dalam masa-masa pembentukan diri. Kawan tentu ingat, masa-masa maraknya siswa menggunakan “celana pensil” yang padahal kerap kena razia guru tapi tetap diulang-ulang juga. Ketika siswa lain berlomba-lomba memakai motor modifikasi ke sekolah, anak transmigran ini hanya berjalan kaki ke sekolah yang jalan ditempuh cukup menanjak dan terjal. Saya merasa menjadi sosok siswa yang berbeda dengan siswa lainnya pada masa itu. Waktu banyak dihabiskan di kosan. Membaca buku menjadi hobi baru terlebih buku biografi atau sejenis buku self improvement. Dari banyak buku yang dibaca, banyak inspirasi saya peroleh tentang bagaimana perjalan-perjalanan hidup mereka yang meraih sukses padahal dengan latar belakang keluarga yang tak jauh berbeda redaksinya. Saat itu, saya mulai merangkai mimpi-mimpi dengan strategi untuk menggenggamnya,
Lebih dari itu, saya pun aktif di ekstra-kurikuler sekolah seperti Pramuka dan juga aktif di Organisasi Siswa (OSIS). Bahkan ketika itu, saya sampai diutus mengikuti Jambore Nasional di Sumedang. Di awal SMA, kembali dipercayakan menjadi Pasukan Pengibar Bendera (PASKIBRA) tingkat Kabupaten. Banyak yang bisa diperoleh dari kegiatan-kegiatan lapangan ini seperti melatih kedisiplinan, kepemimpinan dan tanggung jawab.
Disiplin dengan segala strategi belajar pada masa SMA sungguhlah hasilnya tidak sia-sia. Selama SMA, saya selalu masuk peringkat 3 (tiga) besar dan tak tanggung-tanggung, saat kelas 3 saya menjadi juara umum di Sekolah. Inilah pembuktiannya, perspektif “miring” ini perlu diluruskan kembali. Aktif di organisasi tidak akan mempengaruhi prestasi akademik di sekolah jika dikondisikan dengan baik dan benar. Lulus SMA dengan nilai sangat memuaskan, kemudian saya mendapatkan kesempatan mendaftar sebagai mahasiswa undangan (PMDK).
3 (tiga) Universitas yang saya pilih pada waktu itu. Namun, keoptimisan untuk bisa diterima melalui jalur PMDK pupus sudah. Tidak ada satu pun dari tiga universitas yang dipilih menerima. Tak berkecil hati, masih ada secercah harapan mengikuti seleksi Akademi Kepolisian (AKPOL) dan IPDN meski membuat saya tidak bisa ikut ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang waktunya berbarengan. Beberapa tahapan seleksi AKPOL dan IPDN pun telah dilalui, namun kembali, semua harapan lenyap ketika pada akhirnya saya dinyatakan tidak lulus.
Apalagi yang bisa dilakukan selain Ikhlas, bersabar, berserah diri, dan menerima takdir akan ketidak-jelasan masa depan yang dirasakan, gagal disemua kesempatan yang datang. Sempat pesimis bahkan berpikir bahwa kerja keras menahan pahit dan derita selama masa muda ini sia-sia. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk menganggur setahun menanti tahun depan untuk mengikuti SNMPTN kembali. Jelas, kegagalan yang dialami bukan hanya saya saja yang merasakan, Ayah dan Ibunda pun tentu sempat berkecil hati. Besar sungguh harapan beliau anak laki-laki satu-satunya ini bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri setelah SMA.
Keputusan mengganggur ini menjadi pergolakan batin dan masalah baru hingga sempat membuat Ayah tidak menerima yang akhirnya kondisi di rumah saat itu sungguh sangat tidak nyaman, karena hari-hari tak luput dari kemarahan sang Ayah. Namun, dengan penyampaian yang baik, pengertian, dan kerja keras yang sungguh perlu pembuktian bahwa sikap konsisten untuk tetap kuliah di perguruan tinggi negeri tahun depan dapat meluluhkan hati Ayah dan Ibunda.
Di saat lilin harapan mulai meredup, Allah membuka jalan untuk saya dengan arah yang tak diduga-duga. Pada saat itu, nomor yang tak dikenal berkali menghubungi. Hamdallah, siapa sangka, itu telepon dari Universitas Andalas yang menyatakan bahwa saya diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Agribisnis memalui jalur beasiswa Bidikmisi. Tak terbendung rasanya suasana hati pada senja itu. Inilah janji Allah, “Fainna ma’al ‘Usri Yusra. Inna ma’al ‘Usri Yusra”, Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (QS. Al Insyirah: 5-6). Lantas, haruskah saya tidak bersyukur? Alhamdulillah… Terima kasih Duhai Allah…
Keesokan hari sejak pemberitahuan itu, saya diharuskan untuk mendaftar ulang ke universitas padahal esok merupakan hari pertama puasa bulan Ramadhan. Sore hari dengan persiapan yang serba mendadak, saya bergegas berangkat ke Padang yang seumur-umur saya belum pernah mengetahuinya seperti apa terlebih jalanan yang harus ditempuh ke sana dan akhirnya sampailah saya pukul 10 malam. Alhamdulillah, pertolongan Allah tiada putus sampai di situ, saya diizinkan menginap di rumah teman yang juga mengizinkan saya untuk mengendarai motornya karena enggan mengantar saya esok hari pagi-pagi sekali ke Unand, sebuah nama baru, tempat baru, yang sungguh tidak ada pengetahuan saya tentang nya. Tidak mau mengambil resiko karena tidak tahu rute yang akan ditempuh ke Unand, akhirnya saya memutuskan untuk naik angkot. Hari itu juga, seusai semua urusan pendaftaran selesai, tidak mau berlama-lama merepotkan teman, saya mencari kos-an sendiri dan langsung dengan segala perlengkapan yang rasanya dibutuhkan selama tinggal di Padang.
Diterima sebagai mahasiswa jurusan Agribisnis 2010 yang bahkan awalnya saya tidak pernah mengetahui adanya jurusan tersebut, membuat saya yakin bahwa inilah jalan yang benar yang Allah pilihkan. Luar biasa sekali, hingga Allah yang memilihkan. Dengan kepercayaan tersebut, saya menjalani kuliah dengan sungguh-sungguh.
Pada semester pertama saya memperoleh Indeks Prestasi (IP) di atas 3,5 (tiga koma lima). Semester dua, kembali tak mau menyia-nyiakan hari-hari diperantauan jauh dari orang tua, saya pun mengisi waktu aktif di organisasi internal dan eksternal kampus. Teringat kata Ibunda, “kalau waktumu tidak di isi dengan kegiatan yang positif, berarti waktumu habis dengan kegiatan yang negatif”. Inilah yang selalu terngiang nasihat-nasihat Ibunda yang penyayang, di samping komitmen tentang kedisiplinan yang tidak pernah saya lepaskan, terutama disiplin membagi waktu. Penting sekali memiliki keahlian dalam membagi waktu terlebih ketika harus aktif di bidang akademisi dan organisasi. Sehingga ini menjadi modal baru dalam memahami mana yang harus menjadi prioritas utama yang pada akhirnya ini menjadi karakter, harga mati yang harus dimiliki laki-laki.
Tidaklah penting memiliki jabatan yang tinggi di dalam organisasi. Karena jabatan itu, menurut saya, nomor dua, yang utama adalah kontribusi. Terkadang beberapa mahasiswa begitu berambisi untuk mendapatkan jabatan, namun minim kontribusi.
Saat di bangku kuliah, saya mulai membuat, menulis, dan menandai prioritas agenda dan target jangka pendek, serta jangka panjang yang harus saya capai dan yang telah dicapai. Kegiatan ini menjadi motivasi tersendiri menjalani kehidupan kedepan. “You are the best motivator for your own success. You are the biggest creator for your own destiny”. Kalau tidak diri ini sendiri, siapa lagi yang akan memotivasi. Motivator terbaik adalah diri sendiri maka ciptakanlah nasib dan kesuksesanmu sendiri.
Semakin dinikmati masa-masa dibangku kuliah, semakin jelas ke mana arah impian yang sesuai dengan passion saya. Dengan target-target tersebut, apa pun yang dilakukan terarah dan fokus pikiran pun akan selalu pada target yang telah dibuat. Hingga saya merasa menjadi pribadi baru yang sangat idealis, perfeksionis, dan melankolis. Waktu demi waktu yang dijalani setiap harinya terasa lebih jelas ke mana masa depan ini akan diarahkan.
Contoh target yang pernah saya buat seperti setiap semester IP harus naik dan bisa menyelesaikan studi S1 sebelum 4 (empat) tahun. Dengan aktivitas sehari-hari yang selalu terarah, Allah memberikan apa yang saya butuhkan sesuai dengan usaha yang telah dilakukan. Berucap syukur, Alhamdulillah, saya lulus S1 dengan lama studi 3 tahun 5 bulan sebagai lulusan terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) > 3,5 (tiga koma enam lima).
Ternyata Rahman Tuhan tidak berhenti di situ saja. Setelah menyelesaikan studi S1, saya mendapatakan email dari Kementerian Pendidikan untuk mendaftar beasiswa program Pascasarjana. Begitu panjang proses seleksi yang harus dilalui untuk mendapatkan beasiswa ini. Akhrinya saya tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan, telah memberikan kesempatan melanjutkan kuliah Strata 1 dan Strata 2 dengan program beasiswa. Saat ini saya menempuh studi S2 di Universitas Gadjah Mada jurusan Agricultural Economic. Saya memperoleh beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) selama 2 (dua) tahun.
Lihatlah, anak transmigran yang melewati banyak hal semasa kecilnya ini, menahan perasaan dari segala keterbatasan, membanding-bandingkan kehidupan dengan teman-teman yang sama tumbuh kembang, akhirnya dapat menikmati pendidikan hingga strata dua di pulau Jawa, di Universitas yang diidam-idamkan banyak mahasiswa dengan tidak mengeluarkan sedikitpun biaya pribadi. Semuanya adalah hasil kerja keras yang akhirnya mendapatkan beasiswa hingga saat ini. Tentu saja, setiap kali saya merasa beruntung, Sungguh, do’a Ibunda telah Allah dengar.
Perjalanan masih panjang, tidak putus sampai di sini. Bijak sekali kutipan ini, “Don’t stop when you’re tired, Stop when you’re done”. Selepas menyandang gelar Master nanti, masih banyak rentetan target yang harus dicentang di buku target yang sudah lama diramu. Salah satunya melanjutkan pendidikan S3, sehingga bisa memperoleh gelar Doktor sebelum umur genap 30 tahun. Dan kemudian bisa mengabdikan diri menjadi seorang dosen di almamater tercinta (Universitas Andalas) kalaupun Allah memberikan kesempatan tersebut. Namun, tujuan hidup saya sederhana, hanya membahagiakan orang tua terhadap apa yang dilakukan dan didapatkan. Bersemangat bergelut dibangku kuliah dilatarbelakangi sebuah teori yang didapatkan dalam mata kuliah sosiologi, yaitu jika ingin merubah strata sosial keluarga bisa melalui pendidikan atau pernikahan. Untuk saat ini melalui pendidikanlah yang dipilih. Karena kesempatan untuk merubah strata sosial itu saat ini baru dapatkan melalui jalur pendidikan.
Sepanjang perjalanan yang ditempuh selama ini “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu Dustakan?” (QS. Ar- Rahman:17). Nikmat demi nikmat yang diperoleh hingga saat ini, kalau disyukuri, janji Allah akan ditambahkan. Cara bersyukur itu sangatlah banyak, salah satunya semakin mendekatkan diri ke Tuhan. Inilah yang saya yakini hingga saat ini, jangan menunda-nunda untuk beribadah kepada Allah. Insya Allah, Allah pun tidak akan menunda-nunda rezeki untuk kita. Dan percayalah, Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan tetapi apa yang kita butuhkan. Terkadang jalan yang diberikan-Nya datang dari arah yang tidak diduga-duga. Lantas kemudian, keterbatasan yang selama ini menjadi momok menakutkan, tidaklah lagi menjadi alasan untuk menggenggam rentetan impian. Berkatalah Ibnu Qayyim, “Andaikan kalian tahu bagaimana Allah mengatur urusan hidupmu, pasti hatimu akan meleleh karena cinta kepada-Nya”. Manis sekali bukan? Hamdallah…